Syarat taqwa yang ke 7 ialah harus ada pemimpin yang bisa memimpin dibidang ilmu, dibidang akal dan hati, apakah yang berbentu lahir mahupun yang batin dan dalam semua hal sehingga hidup kita ini bisa terarah kepada Allah.
Dalam Islam, pemimpin yang bisa memimpin hidup kita itulah yang dikatakan mursyid. Istilah mursyid adalah dari perkataan mursyidun , maknanya orang yang memimpin. Wajib bagi setiap orang ada pemimpin yang memimpin dirinya, tidak kira apakah dia seorang ulama, ustaz, hafiz, pakar Islam atau muallim. Terlebih lagi orang awam yang kurang ilmu dan kurang mengerti tentang Islam. Orang yang memimpin (mursyidun ), dia tidak sama dengan muallim. Juga dia tidak sama dengan ustaz atau guru. Sebab muallim itu hanya memberi ilmu. Mereka hanya memandang yang luaran. Tetapi mursyid yang bisa memimpin, Allah memang memberikan kepadanya ilmu-ilmu yang luar biasa. Ada ilmu lahir dan batin. Bukan saja dia bisa memimpin akal orang tetapi hati (roh) orang juga bisa dipimpinnya, walaupun mursyid itu seorang yang tidak bisa hafal Al Quran dan tidak hafal Hadis. Sebab itu seberapa pun alim seseorang itu, dia harus ada seorang pemimpin atau mursyid.
Kita lihat di mana-mana orang menyebut" Dia itu muallim saya", Itu guru saya`" , tetapi mengapa tidak dikatakan, " Dia itu pemimpin atau mursyid saya. " Memang pemimpin dan mursyid itu susah dicari. Apalagi dizaman sekarang yang sudah jauh dari zaman Rasulullah. Orang yang layak menjadi mursyid masih bisa dihitung dengan jari tetapi guru yang memberi ilmu atau muallim atau ustaz, ini ramai.
Sebab itu mursyid kurang popular dan jarang disebut dalam kehidupan sehari-hari. Orang yang selalu sebut muallim, guru atau ustaz. Imam Ghazali r. a berkata "Untuk mencari seseorang yang mursyid seperti mencari belerang merah. ".
Ini menunjukkan bagaimana susahnya untuk mencari belerang merah, begitulah susahnya untuk mencari mursyid. Sebab itu, pemimpin atau mursyid sudah tidak wujud dikalangan umat Islam hari ini. Maka umat Islam berjuang main-main akal, beribadah main sesuka hati, bertindak pula main sembrono, tidak dengan cara ilmu. Jadi kita perlu ada guru yang mursyid, yang bisa memimpin ilmu dan amalan kita, yang memimpin lahir dan batin kita. Guru mursyid ini menjadi tempat kita merujuk walau dalam perkara kecil sekalipun.
Tetapi di sinilah ramai yang tidak mengerti termasuk alim ulama. Sesetengah mereka berkata, " Kalaulah kita sudah berguru di satu tempat, janganlah kita berguru di tempat lain. "
Ini satu kesilapan dan pefahaman yang salah. Sebenarnya guru mursyid saja yang tidak boleh ramai. Guru mursyid haruslah seorang saja. Tetapi kalau muallim atau guru sumber ilmu, lebih ramai lebih baik kerana lebih banyak saluran untuk dapat ilmu. Kalau ada tiga puluh orang guru, ada tiga puluh saluran. Imam Ghazali r. h ada 1000 orang gurunya. Guru pimpinan, guru mursyid, tempat rujukan semua hal hanyalah seorang saja. Dalam sebarang hal harus dirujuk kepadanya termasuklah dalam perkara yang harus. Walaupun perkara itu harus dalam syariat, tetapi untuk mendapat berkat harus bertanya kepadanya. Lebih-lebih lagi kalaulah ia sudah menjadi perintahnya maka wajib di taati.
Katakanlah mursyid menyuruhkan Si A supaya berpindah. Hukumnya harus saja dalam Islam. Tetapi kalau disuruh oleh mursyid, berdosa kalau Si A tidak berpindah. Setiap perintahnya menjadi wajib aradhi atau wajib mendatang sebab mentaati pemimpin adalah wajib.
Contoh yang lain ialah arahan menghadiri majlis usrah, majlis tahlil, tukar kerja dan arahan kawin. Walaupun semua ini perkara yang harus dan sunat tetapi kerana pemimpin yang suruh, maka wajib ditaati. Disinilah banyak silapnya para pejuang sekarang. Mereka sudah ada jemaah tetapi kalau ada masalah dalam jemaah, dia tidak merujuk kepada mursyid. Malahan dia rujuk kepada ulama di luar jemaah atau dukun. Akhirnya rusak keyakinannya.
Jadi setiap orang yang ingin membaiki dirinya harus ada mursyid yang memimpinnya sekalipun dia ulama, ustaz, orang alim, hafaz al Quran dan pakar Hadis. Kenapa? Dalam ajaran Islam ini ada ilmu yang datang dari akal, ada ilmu yang datang dari hati. Ada yang lahir dan ada yang batin. Ada yang tersirat dan ada yang tersurat. Belum tentu seseorang itu diberi ilmu yang tersirat. Bukan semua orang diberi ilmu-ilmu hati. Olehkarena itu, walau ulama pakar seperti apa sekalipun tetap harus ada guru yang memimpinnya.
Disinilah ramai orang salah faham. Terutamanya para ulama. Kerana hati mereka berkata, ''Saya sudah menjadi ulama, saya sudah menjadi alim, saya sudah menjadi profesor, apa perlu pimpinan? Saya bisa pimpin diri saya sendiri. Buat apa bersandar pada orang lain?''
Begitulah tabiat ulama sekarang. Sebab itu mana ada ulama di akhir zaman ini yang ada kesedaran, bertaqwa dan yang baik dan menyenangkan hati kita. Kenapa? Sebab mereka fikir tidak perlu dipimpin lagi. Sebab mereka merasa mereka banyak ilmu dan bisa memimpin diri mereka sendiri.
Akibatnya, kadang-kadang kita lihat orang awam yang tidak punya ilmu lebih baik amalan dan akhlaknya manakala ulama hidup lintang pukang dan merekalah yang sering menimbulkan masalah dan huru-hara di tengah masyarakat. Mereka sudah tidak bisa dipimpin oleh manusia lagi. Lebih-lebih lagi mereka tidak mahu dipimpin oleh guru mursyid.
Orang yang bisa memimpin atau mursyid hanyalah orang yang pintu hatinya terbuka iaitu mempunyai basirah (pandangan hati). Bukan sekadar akalnya saja yang terbuka. Ramai orang yang akalnya terbuka maka dia bisa menangkap ilmu tetapi hatinya tertutup. Dia tidak bisa membaca hal-hal batin, hal-hal hati dan hal-hal rohani seseorang. Dia tidak dapat melihat sifat-sifat mazmumah dan sifat-sifat mahmudah seseorang. Lebih-lebih lagi dia tidak dapat mengubat penyakit hati seseorang. Mursyid itu ialah orang yang hatinya terbuka luas dan bisa memimpin orang lain. Dia tidak seharusnya lebih alim daripada orang yang dipimpinnya.
Imam Hambali umpamanya dia tidak disebut sebagai ahli tasawuf sebab dia tidak mengarang kitab tasawuf, sebaliknya beliau mengarang kitab ilmu-ilmu lahir saja. Tetapi yang sebenarnya dia juga alim dalam ilmu batin (kerana semua imam mazhab itu adalah mursyid dan pakar tasawuf). Dia tahu dan mengamalkannya. Imam Hambali dan imam-imam mazhab yang lain adalah orang-orang yang terpimpin dan mampu memimpin. Tambahan pada itu, menurut riwayat, Imam Hambali selalu merujuk kepada ulama-ulama, menziarahi Bisyru al Hafi, sering menziarahi ahli-ahli sufi di hujung negeri Baghdad.
Guru Mursyid itu mampu memimpin manusia kerana kelebihan yang ada pada dirinya. Dia lebih tahu tentang kecacatan dan kelemahan muridnya, tentang lahir dan batin muridnya, dia nampak dan bisa membaca hal-hal yang halus yang ada pada hati-hati muridnya. Dia nampak dan bisa menunjuk kelemahan muridnya dan bisa mendidik dan mengajar mereka. Cara ini sangat berkesan malahan lebih berkesan dari pada latihan-latihan yang lain dalam usaha untuk memperbaiki diri.
Mursyid bukan ulama biasa. Setiap mursyid itu ulama tetapi bukan setiap ulama itu mursyid. Mursyid ialah orang yang disamping mempunyai ilmu lahir, dia dianugerahkan pula oleh Allah dengan ilmu batin, ilmu laduni, ilmu ilham, ilmu hikmah serta ilmu firasat hingga dia sungguh faham tentang soal perjalanan roh atau hati dan tentang penyakit-penyakit dan kelebihan hati. Dia mampu untuk memimpin, mendidik dan menunjuk ajar manusia dalam usaha mereka untuk memperbaiki diri dan menyucikan hati.
Mursyid adalah guru rohaniah yang telah terlebih dahulu mengamalkan ilmunya dan menyucikan hatinya. Oleh itu, dia mempunyai kelebihan-kelebihan rohaniah yang biasa dimiliki oleh orang-orang yang telah membersihkan dan menyucikan hati mereka. Disebabkan hatinya bersih, dia boleh menyelami hati-hati orang lain.
Jadi setiap orang harus mencari seorang guru mursyid untuk memimpin dirinya walaupun dia alim. Lahir batinnya perlu diserahkan kepada guru mursyid. Ini adalah salah satu dari syarat untuk mendapatkan taqwa.
Syarat Taqwa Yang Ke 8 adalah Berdoa Kepada Allah
Usaha kita tidak memberi bekas walaupun usaha itu diperintah oleh Allah. Kita sudah belajar tetapi ilmu itu sebenarnya tidak memberi bekas. Kita bermujahadah tetapi mujahadah kita untuk membaiki diri tidak memberi bekas. Mursyid kita tidak memberi bekas walaupun kita disuruh mencari mursyid. Yang memberi bekas hanyalah Allah. Allah-lah yang menghitam-putihkan nasib kita. Begitulah keyakinan kita. Sebab itu kita harus selalu memanjatkan doa kepada Allah agar Allah sentiasa memberikan hidayah dan taufik kepada kita.Mendapatkan hidayah itu lebih mudah. Contohnya, dibuka pintu hati kita untuk menerima dan senang pada Islam. Tetapi belum tentu kita akan dapat taufiq. Taufiq ialah apabila amalan kita sejalan dengan ilmu atau dengan apa yang Allah mahu. Taufiq itu praktek dengan teorinya sama. Ilmiah dengan amaliahnya sama.
Yang muassir (yang memberi bekas) hanyalah Allah. Tujuh perkara atau syarat-syarat taqwa yang diperkatakan sebelum ini tidak muassir , walaupun diperintah. Ia tidak memberi bekas. Sebab itulah harus bersungguh-sungguh berdoa kepada Allah. Kalau Allah memberikan hidayah dan taufiqNya, semua masalah selesai. Tidak ada masalah yang sulit. Yang besar jadi kecil, yang kecil akan menjadi lebih kecil.
Ilmu Islam seperti juga ilmu dunia. Tidak seharusnya kita belajar ilmu dan apabila kita mengamalkan ilmu itu akan mendapatkan hasil seperti yang kita pelajari. Kebanyakannya tidak tepat walaupun sudah ada nasnya. Kalaupun tepat yang lahir, batinya pula yang tidak kena. Contohnya kita belajar ilmu sembahyang. Dari segi rukuknya, sujudnya tepat sebagaimana di dalam kitab. Ini adalah hidayah. Tetapi yang batin, hati tidak sujud, hati tidak rukuk. Inilah yang dikatakan taufiq. Tidak cukup kalau mendapat hidayah saja tetapi tidak mendapatkan taufiq.
Contoh yang lain, seorang yang belajar ilmu ekonomi yang selalu memikirkan soal untung. Kalau dia berdagang dia rugi. Ilmunya tidak menjadikan ia berhasil . Sebab itu, kita lihat foreman atau mekanik lebih pakar dari engineer. Seorang engineer tahu sebut dari segi istilah sesuatu barang tetapi seorang mekanik istilahnya dia tidak tahu, tetapi dialah yang pakar memperbaiki kendaraan.
Jadi teori dengan amal tidak sejalan walaupun dari segi ilmunya sudah kelihatan tepat. Kalau praktek belum tentu tepat, itulah yang menunjukkan bahawa selain Allah, tidak ada kuasa lain yang memberi bekas. Ilmu pun tidak memberi bekas. Oleh karena itu kita haruslah selalu berdoa kepada Allah agar kita dibantu dan usaha kita diberi keberhasilan.
Begitulah teori ilmiahnya, lapan syarat untuk ditempuh oleh seseorang itu agar menjadi orang soleh atau menjadi orang yang bertaqwa. Kalau kita menjadi orang yang bertaqwa barulah kita akan mendapat ganjaran dari Allah dunia dan Akhirat. Selagi kita belum menjadi orang yang bertaqwa selagi itulah Allah tidak akan membantu dan Allah tidak akan membela kita serta tidak ada jaminan apa-apa daripada Allah SWT.
Imam Ghazali r.h. mengenengahkan teori `Gunung Tujuh` dalam usaha mencapai taqwa. Teori ini mungkin sesuai dalam zaman beliau. Di zaman ini, ia sukar difahami, lebih-lebih lagi sukar diamalkan. Zaman berubah dan keadaan pun berubah. Manusia di zaman ini tidak sama masalah yang dihadapinya dan tidak sama kemampuan mereka berbanding dengan manusia yang hidup seribu tahun dahulu. Oleh karena itu, teori, pendekatan, cara, kaedah harus berubah mengikut perubahan zaman.
Dunia sekarang bagaikan tanpa batas. Perhubungan begitu pesat dan cepat. Yang jahat dan mungkar tersebar ke seluruh dunia dalam waktu yang singkat. Maksiat yang berbagai bentuk dan rupa yang tidak dapat dibayangkan di zaman dahulu sekarang terjadi dimana-mana. Dengan adanya radio, TV. teknologi perhubungan dan pemberitauan dan sebagainya, dunia sudah menjadi kecil. Ada pula konsep Global Village, Borderless World dan Open Sky yang mempercepatkan lagi perhubungan antara manusia dan bangsa.
=== bersambung ===
Tidak ada komentar:
Posting Komentar